Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.¹
Abstrak
Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan
yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada
suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman
agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu
upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate
dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang
sedemikian cepat itu. Alih-alih, hal itu
hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat
beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan
konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai
jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial,
pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa
ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif.
Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti
bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun
praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk
membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting
adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam
tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating
force) dari
himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa
dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis
dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus
globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna
menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
Kata Kunci:
Pendidikan
Islam, kekuatan pembebas, dampak negatif globalisasi
A.
Pendahuluan
Kandungan materi pelajaran
dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat
ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan
yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.
Kehadiran pendidikan Islam,
baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih
sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang
bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif
penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang
lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak
perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka
di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca
tidak jelas.
Dalam perkembangannya
pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif.
Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan,
atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah
pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan.
Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak
tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang
bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek
dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara
pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh
dasarnya.
Dalam telaah sosiologis,
pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan
pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata
sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak
sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan
dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial,
dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir
masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua
jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi
nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan
alienasi.
Respon yang bersifat
asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih
terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik
yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon
ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi
ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan
daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat
alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam
satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan
Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks
tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran
kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa
terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap
tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor
kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara
merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya
bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan
Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan
liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun
alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam
asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan
perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh
penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam
bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren
pendidikan Islam dan cenderung “menolak” nilai kontingen, menjadikannya kuat
dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan
humanisasi.
Perubahan masyarakat yang
terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan
perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian
cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi
di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada
di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan
dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas
teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the
end of the nation state.³
Dari sisi politik, dapat
dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu
popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian
pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau
sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They
locked together in what has been referred to as the economic world system
4
Dalam kerangka struktur berpikir
masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan
perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut
tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon
konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas
menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi
adalah dialog positif antara prima facie
norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun
demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu
mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah
mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang
membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama
berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner,
“One of the best known
and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis:
in industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes.
There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new
technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion
of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized
religion eventually cuts its own throat”5 .
Kekhawatiran-kekhawatiran di
atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama
tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya
proses globalisasi, revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus
keagamaan sejak dasawarsa 1980 -an. Sejak periode itu,
pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus
sebuah negara yang sering dipandang sebagai ‘sekular’ – bergerak ke
‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting
agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu.
6
Antara lain karena berkembangnya pandangan tentang saling
berkaitnya antara nilai-nilai agama dengan masalah yang menyangkut kamaslahatan
umum, maka sosiolog seperti Robert N. Bellah – meskipun tidak meletakkannya
dalam konteks agama Katolik maupun Protestan – melihatnya dalam perspektif civil religion.7 Dalam nada
yang sama, Jose Casanova melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial
politik di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat. Itu semua
diekspresikannya dalam konteks bahwa agama itu bukan persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik
(public). Karenanya, agama adalah
sesuatu yang seharusnya deprivatized.
8
B.
Peran Pendidikan Islam
Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat
dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia.
9 Dalam konteks
itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut.
Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik
melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir di mana-mana”,
ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan
politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu
agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus
kegiatan manusia – baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik.
10 Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama
menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
11
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran
agama selalu disertai dengan “dua muka” (janus
face). Pada satu sisi, secara inheren
agama memiliki identitas yang bersifat exclusive,
particularist, dan primordial. Akan
tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending.
12
Jadi ada dua hal
yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama
dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil – agama secara empirik
dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks
yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut –
agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya
dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik
telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu
konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh
asal-usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal
serta particularitas yang melingkup mereka.13
Tapi,
terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada
tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama,
perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan
persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan
proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains)
yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba
mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara
agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin
melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi,
bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan
masalah kemasyarakatan.
Secara
garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan
kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai
agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak
mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan
bukti-bukti yang tegas (brute fact)
bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara
dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada – dalam kadar dan intensitas yang
tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik,
formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk
inspiratif dan substantif.14
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik
yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis
setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian,
pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka
sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak
dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.
15
Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah
Allah di bumi (Al-Baqarah: 30 ). Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi
amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk
memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah secara maksimal, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi
yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut
meliputi potensi jasmani dan rohani.
Potensi jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah
yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri
dari fitroh, roh, kemauan bebas dan akal.
16 Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan,
akal dan roh. 17 Ketiga-tiganya persis segitiga yang sama panjang
sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual
manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan
dimensi sosial. Selain dari itu al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi
rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, ‘Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan
potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah
Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.18
Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai
khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat,
56 ). Dengan demikian manusia itu mempunyai
fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai
khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan,
pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya.
Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi
dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif
yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin
dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan
yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir
pendidikan yang ingin dicapai.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka
suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan
rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian
kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan
diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam
maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan.
Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin
dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal,
yaitu:
1.
Tercapainya tujuan hablum
minallah (hubungan dengan Allah)
2.
Tercapainya tujuan hablum
minannas (hubungan dengan manusia)
3.
Tercapainya tujuan hablum
minal’alam (hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi,
an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut
telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap
berorientasi kepada ketiga komponen tersebut.
19
Ketiga permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia
itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan
sumber daya manusia. Pertama, secara
struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah
kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan.
Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama
sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga
terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan
pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga
pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No.
32 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana
kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan
termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah,
sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif
yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga
pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural,
lembaga pendidikan Islam, terutama pesant5 ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai
lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat
muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang
menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas
dua” dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas.
Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan
yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga
pendidikan Islam seperti di atas.
Ketiganya sumber
daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan
Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga
guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum
(Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini
sangat berdampak terhadap output-nya.
Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu,
adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam
suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi.
Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah
dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep
pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh
Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.
“And that them exists at present a regrettable dichotomy in education
the Muslim World, one system, namely, religious education being completely
divorced from the secular sciences and secular education being equally divorced
from religion, although such compartmentalization was contrary to the true
Islamic concept of education and made it impossible for the products of either
system to represent Islam as a comprehensive and integrated vision of life”.20
Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan
tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika
pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu
diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya
melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum
maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran; personifikasi
pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa
keislaman yang tinggi dan; lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep
kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.
C. Era Globalisasi
Globalisasi
adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan Jepang
melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia dengan
kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi.
Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang
baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus.
Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang
untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material.
Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1 ) munculnya teknokrasi dan tirani
yang sangat berkuasa dan; (2 ) didukung oleh alat-alat teknik
modern dan persenjataan yang canggih.
Ternyata kini bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern
dan persenjataan itu sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme
operasionalistik yang menjarah dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul
banyak perang, penderitaan dan malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada
banyak segi, terutama di bidang teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial
memiliki segugus besar kelebihan dan kelimpahan, berupa: science, teknik canggih, industri dan produksi yang berlimpah.
Karena itu semua kelimpahan tadi perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan
barang dagangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan
pasar lebih luas lagi untuk menjual kelebihan hasil produksinya. Maka langkah
niaga mereka yang semula bersifat spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis,
kemudian berubah menjadi agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan
imperialistik. Tidak lama kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme (militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan
sayap kekuasaannya ke negara-negara yang
lemah sistem perekonomiannya.
Sehubungan dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan
yang dijadikan alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam
bentuk: misi bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi
perdamaian, dana pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan,
misi kebudayaan dan lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang
ditunggangi aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn
kewaspadaan nasional, di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan
aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang
melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi
dan kapital bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling
berhubung. Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer,
transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari
sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang
produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.
Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi,
teknosainslah (techno-science) yang
memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis
antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Globalisasi dapat
dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam
masing-masing kasus, perbedaan kuncinya
adalah apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas.
Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi
transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses
di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk
menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur
(heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata
lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak
variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan
oleh kultur Amerika meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural,
menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global
dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang
berbeda, yakni glocal.
Globalitas berarti
bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi
lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia
. Globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang
geografis jauh lebih ekstensif. Kedua,
pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari
waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas
(density) yang lebih besar untuk
“jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.21
Michael juga
mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas
ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari transnasionalitas antara
lain: (1 ) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin
terpengaruh; (2 ) ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti
media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism);
(3 ) komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4 )
bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan tindakan yang harus diambil
untuk menanganinya; (5 ) meningkatnya persepsi transtruktural dalam kehidupan kita; (6 )
industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan; (7 ) peningkatan dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan
kesepakatan transnasional. 22
Ada dua event yang hampir bersamaan
munculnya pada saat bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama globalisasi, diakibatkan
kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transportasi sehingga dunia
semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya global ini ditandai dalam bidang
ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan
ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik
akan tumbuh semangat demokratisasi.
Dalam bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang
berlangsung begitu cepat yang saling mempengaruhi, dalam bidang sosial akan
muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang
memproduksi kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru
yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk
memilikinya.
Event kedua adalah reformasi,
dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru
Indonesia ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya.
Wajah baru Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat
madai, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan
hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke
dalam hal-hal berikut ini:
1.
Pendidikan Agama sebagai suatu
media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat
pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi
kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta
media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
2.
Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim
sepenuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun
rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah,
manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural
dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
3.
Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang
berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah
satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut
serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik.
Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan
mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang
penuh persaingan juga semakin tajam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S. and Davis M. Hart (eds.).1984 . Islam
in Tribal Societies: From the Atlas to the Indus. :
London: Routledge and Kegan Paul.
Al-Qur’an al-Karim
Asy-Syaibani, Umar Muhammad At-Toumy.
1975 . Falsafah atTarbiyyah al-Islamiyyah. Trabulus:
Asy-Syirkah al-Ammah.
Ayubi, Nazih.
1991 . Political
Islam; Religion and Political in the Arab World, London:
Routledge.
Bellah, Robert N.1991 .
Civil Religion in America, dalam Robert N. Bellah, Beyond
Belief: Essay on Religion in a Post-Traditionalist World. Berkeley and Los Angeles: University
of California Press.
Casanova, Jose.
1994 . Public Religions in The Modern World.
Chicago and London: The University of Chicago Press.
Chossudovsky, Michael.
1997 . The Globalization of Poverty: Impact of IMF
and World Bank Reforms. Penang: Third World Book.
Daradjat, Zakiah.
1984 . Pembinaan Dimensi Rohaniyah Manusia dalam
Pandangan Islam. Medan: IAIN.
Daulay, Haidar Putra.
2004 . Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Gutmann, Amy and Dennis Thompson.
1989 .Ethics
and Politics: Case and Commentaries. Chicago: Nelson Hall Publishers.
Johnson, Benton.
1985 .
Religion and Politics in America: The Last Twenty Years, dalam Phillipe E. Hammond (ed.), The Secred in a Secular. Berkeley, Los Angeles, London: University
of California Press.
Langgulung, Hasan.
1986 . Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa
Psikhologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ohmae, Kenichi.
1995 . The End of the Nation State:
The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins Publishers.
Pocock, J.G.A.
1989 . Politics, Language, and Time: Essay on
Political Thought and History. Chicago: University of Chicago Press:
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama Lengkap : Dr. H. Endang Komara, Drs., M.Si.
Tempat tanggal
lahir : Purwakarta,
19 Juli
1964
Alamat Rumah : Jl Jati Indah IV/6 Bandung
40275
Telpon
7309887 H.P.
08122010150
Kantor : Jl Permana No.
32 -B Cimahi, telpon.
6649523
Pekerjaan : Dosen PNS
Kopertis Wilayah IV dpk pada STKIP
Pasundan Cimahi
Pangkat/golongan : Pembina Tingkat I/IVb
Jabatan
Fungsional : Lektor
Kepala IVc
Pendidikan :
S1 :
Sarjana Pendidikan, tamat 1990
S2 :
Ilmu Sosial Unpad, tamat 1998
S3 :
Ilmu Sosial Unpad, tamat 2003
Bandung,
22 Pebruari
2005
Dr. H. Endang
Komara, M.Si.
NIP.